Sabtu, 29 Maret 2014

TUGAS 1 SOFTSKILL BAHASA INDONESIA (ARTIKEL)

TUGAS 2

Buat sebuah artikel dengan metode cara berfikir induktif jenis generalisasi, minimal 2 lembar dengan tema JAKARTA :


JAKARTA,KOMPAS.COM - Ketika terjadi heboh penolakan warga Pondok Indah terhadap rencana pembangunan koridor bus transjakarta yang melintas di wilayah mereka, sebagian orang melihat itu hanya cerminan arogannya warga kelas atas Pondok Indah yang tak mau lingkungannya yang sudah tertata rapi diintervensi “untuk kepentingan umum yang lebih besar”.
Tetapi, ada persoalan lebih besar dari sekadar persoalan arogansi di sini. Jakarta mengatasi satu masalah dengan mengundang malapetaka baru. Pondok Indah bukan satu-satunya. Kaukus Lingkungan Hidup mencatat, ada 52 titik wilayah resapan atau tangkapan air yang dialihfungsikan selama kurun 2006-2007, tanpa pemerintah mempersiapkan penggantinya.
Secara sistematis dan terstruktur, pemerintah menjadi aktor utama dalam penghancuran ekologi dan ekosistem Jakarta. Jakarta tengah menggali kuburnya sendiri, dan banjir yang semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya adalah salah satu akibatnya.
Alih fungsi lahan secara progresif terus berlangsung, bahkan setelah terakhir banjir menenggelamkan 80 persen wilayah Ibu Kota pada Februari tahun ini. Padahal, tanpa ini pun Jakarta dengan posisi geografis dan struktur tanahnya sudah rawan banjir.
Dalam kampanye sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menjanjikan untuk mengatasi banjir Jakarta, kendati ia mengakui banjir di Ibu Kota tidak akan dapat diselesaikan secara menyeluruh dalam lima tahun ke depan.
Orang banyak berharap ia akan membuat terobosan karena latar belakang ilmu perencanaan kota yang dimilikinya. Namun, kasus Pondok Indah dan beberapa kasus lain, dinilai pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Slamet Daroyni memunculkan kesan kuat, Fauzi hanya melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Proyek jalur bus transjakarta yang melintasi Pondok Indah, menunjukkan dalam proyek-proyek Pemerintah Provinsi DKI sendiri pun, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya jadi pelengkap.
“Jika proyek pemerintah saja seperti itu, bagaimana proyek- proyek lainnya? Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal jelas bahwa dokumen amdal adalah prasyarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan pembangunan. Ini amdalnya belum ada, kegiatan pembangunan infrastruktur sudah terjadi,” ujar Daroyni.
Hariadi dan Daroyni juga mencatat inkonsistensi dari program- program pengendalian banjir yang dibuat oleh pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat. Sejak banjir besar tahun 2002, tidak ada langkah strategis yang implementatif di lapangan.
Contohnya, konsep Megapolitan serta berbagai aturan atau keputusan menyangkut penataan wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur dalam upaya mengatasi banjir dari wilayah hulu, baik dalam bentuk keputusan presiden (keppres), peraturan presiden (perpres), rancangan perpres atau aturan lain. “Tidak ada yang jalan sampai hari ini,” ujar Hariadi dan Daroyni.
Berbagai gagasan untuk mengurangi sumber banjir di Jakarta juga hanya berakhir sampai gagasan. “Contohnya Ciliwung Bersih, sampai sekarang Ciliwung masih tumpukan sampah,” ujarnya. Demikian pula janji normalisasi 13 sungai serta waduk dan situ. Menurut mereka, mandulnya semua prakarsa mengatasi banjir Jakarta adalah bentuk nyata kegagalan birokrasi pemerintah.
“Pola-pola penanganan banjir yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso. Jadi tidak ada sesuatu yang baru yang dilakukan oleh Fauzi. Sampai sekarang tidak ada evaluasi terhadap penanganan banjir sebelumnya dan contingency planning menghadapi ancaman banjir yang akan datang. Kalau cara penanganannya tak jauh berbeda seperti tahun kemarin, bencana banjir akan tetap menjadi ancaman paling serius di Kota Jakarta,” ujar Daroyni.
Kebijakan yang ditempuh pemprov, baik dari sisi penganggaran, kebijakan tata kota dan perilaku birokrasi, menurut Daroyni dan Hariadi, menunjukkan pemerintah tidak pernah belajar dari bencana-bencana banjir sebelumnya, dan tidak menunjukkan adanya keseriusan pemerintah untuk memprioritaskan penanganan banjir. DPRD bisa begitu gigih ngotot soal tunjangan gaji, tetapi soal banjir nyaris tak kedengaran suaranya.
Kondisi yang dihadapi Jakarta sebenarnya hanya ekses dari kebijakan Pemprov DKI yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang kualitas dari pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan dicapai dengan menghancurkan lingkungan. Pembangunan mega-megaproyek besar yang mengabaikan keseimbangan tutupan lahan hanya salah satunya.

Sosio-ekonomis
Tetapi jelas Pemprov DKI bukan satu-satunya yang pantas dipersalahkan di sini. Banjir dan hancurnya lingkungan Jakarta bukan semata-mata karena kebijakan Pemprov DKI. Jakarta juga korban kebijakan pembangunan nasional yang terlalu berpusat di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya.
Selain minimnya wawasan dan kepedulian birokrasi dan warganya pada lingkungan, bencana banjir dan pertumbuhan Jakarta yang cenderung tak terkendali hingga melebihi daya dukung ekologisnya tidak bisa dilepaskan dari fenomena urbanisasi yang diakibatkan oleh orientasi kebijakan pembangunan nasional ini.
Karena kemiskinan, puluhan ribu penduduk—sebagian besar pendatang—terpaksa mengokupasi wilayah-wilayah resapan air dan menghuni bantaran-bantaran sungai. Ditambah kebiasaan masyarakat Jakarta yang suka menyampah, ini menjadi sumber penting penyebab banjir di Jakarta. Sekitar 40 persen dari 6.000 ton sampah yang dibuang lebih dari 12 juta penduduk Jakarta setiap harinya dibuang ke sungai.
Anehnya, upaya pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah cenderung menekankan pada perbaikan infrastruktur semata dan mengabaikan faktor sosio-ekonomis ini. Banjir bukan datang secara dadakan, tetapi dampak dari salah urus ekosistem dan infrastruktur tata air perkotaan, dan kebijakan lain yang cenderung meminggirkan orang dan lingkungan selama berdekade-dekade.
Masyarakat hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Akibatnya, masyarakat juga cenderung merasa tidak berkepentingan untuk ikut menjaga lingkungannya.
Dalam kasus banjir, itu antara lain sangat kelihatan dari respons mereka yang cenderung berusaha mencari selamat sendiri-sendiri, antara lain dengan berlomba-lomba meninggikan rumah untuk mencegah banjir masuk ke tempat tinggal mereka. Mereka yang miskin tak punya pilihan lain kecuali beradaptasi dan berkompromi dengan banjir yang setiap kali mampir.
Sampai sekarang, tidak jelas peran pemerintah pusat dalam ikut memecahkan problem Jakarta, termasuk persoalan banjir ini. Salah satu contohnya, komitmen pendanaan Rp 9,5 triliun untuk 10 tahun guna mengatasi banjir Jakarta, yang sampai sekarang tidak jelas tindak lanjutnya.
Pascabanjir besar 2002, pemerintah pusat melalui Bappenas juga menganggarkan dana Rp 15 triliun untuk mengatasi banjir Jakarta dalam 10 tahun, atau Rp 1,5 triliun per tahun. Namun, reaksi publik waktu itu sangat negatif terhadap rencana ini. Mereka menduga dana ini akan kembali di korup oleh oknum pemerintah seperti terjadi pada proyek-proyek lain sebelumnya. Akibatnya, nasib program tidak jelas.
Pada 2007, kembali berembus dugaan manipulasi dana pembebasan lahan untuk Banjir Kanal Timur. Lamban dan korupnya birokrasi membuat masyarakat pun semakin kehilangan kepercayaan dan keyakinan pada kemampuan dan keseriusan pemerintah untuk mengatasi banjir Jakarta.

SUMBER :
www.megapolitan.kompas.com

TUGAS 1 SOFTSKILL BAHASA INDONESIA

TUGAS 1
1.      Jelaskan konsep “penalaran” menurut anda !
penalaran adalah merupakan suatu corak atau cara seseorang mengunakan nalarnya dalam menarik kesimpulan sebelum akhirnya orang tersebut berpendapat dan dikemukakannya kepada orang lain. Dimana penalaran dibagi dua macam yaitu penalaran induktif dan deduktif. Kedua jenis penalaran tersebut mempunyai maksud dan Silogisme yang berbeda. penalaran deduktif adalah proses penyimpulan pengetahuan khusus dari pengetahuan yang lebih umum atau universal.sedangkan penalaran induktif adalah proses berpikir untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.
2.      Bagaimana wujud dari evidensi ?
Wujud Evidensi merupakan semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas yang dihubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran. Fakta dalam kedudukan sebagai evidensi tidak boleh digabung dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Dalam wujud yang paling rendah evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu.
3.      Jelaskan dan berikan contoh cara menguji data, cara menguji fakta, dan cara menilai autoritas !

·         Cara Menguji Data
Data dan informasi yang digunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap digunakan sebagai evidensi. Dibawah ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk pengujian tersebut.
A.     Observasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha meyakinkan para pembaca, maka kadang-kadang pengarang merasa perlu untuk mengadakan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atu informasi itu. Tiap pengarang atau penulis harus mengadakan pengujian lagi dengan mengobservasi sendiri data atau informasi itu. Sesudah mengadakan observasi, pengarang dapat menentukan sikap apakah informasi atau data itu sesungguhnya merupakan fakta atau tidak, atau barangkali hanya sebagian saja yang benar sedangkan sebagian lain hanya didasarkan pada perasaan dan prasangka para informan
B.     Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi, tidak selalu harus dilakukan dengan observasi. Kadang-kadang sangat sulit untuk mengharuskan seseorang mengadakn obeservasi atas obyek yang akan dibicarakan. Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat melakukan pengujian dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang tidak mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu. Demikian pula halnya dengan semua pengarang atau penulis. Untuk memperkuat evidensinya, mereka dapat mempergunakan kesaksian-kesaksian orang lain yang telah mengalami sendiri perisitiwa tersebut.
C.     Autoritas
Cara ketiga yang dapat dipergunakan untuk menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang telah menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai dengan keahlian mereka dalam bidang itu.
·         Cara menguji fakta
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut baru merupakan penilaian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakitan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil.
A.    Konsistensi
Dasar pertama yang dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan atau melemahkan evidensi yang lain.
B.     Koherensi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penilaian fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan dipergunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau sikap yang berlaku. Bila penulis menginginkan agar sesuatu hal dapat diterima, ia harus meyakinkan pembaca bahwa karena pembaca setuju atau menerima fakta-fakta dan jalan pikiran yang menemukakannya, maka secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
·         Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang objektif selalu menghidari semua desas-desus atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data eksperimental.
A.    Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka. Yang tidak mengandung prasangka artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri, atau didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya.
B.     Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperolehnya harus dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli yang diperoleh melalui pendidikannya tadi. Walaupun jaman kita ini sudah begitu condong atau cenderung dengan berbagai macam spesifikasi, namun kita tidak boleh mengabaikan keahlian seseorang dalam beberapa macam bidang tertentu.
C.     Kemashuran dan Prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi di balik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain. Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang. Seorang yang menjadi terkenal karena memperoleh lima medali emas berturut-turut  dalam pertandingan lomba lari jarak lima ribu meter, diminta pendapatnya tentang cara-cara pemberantasan korupsi.
D.    Koherensi dengan Kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan penulis argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat atau sikap terakhir dalam bidang itu. Pengetahuan dan pendapat terakhir tidak selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat terakhir dari ahli-ahli dalam bidang yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua pendapat sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya, sehingga mereka dapat mencetuskan suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Sebab itu untuk memberi evaluasi yang tepat terhadap autoritas yang dikutip, pengarang harus menyebut nama autoritas, gelar, kedudukatif, dan sumber khusus tempat kutipan itu dijumpai. Bila mungkin penulis harus mengutip setepat-tepatnya kata-kata atau kalimat autoritas tersebut. Untuk memperlihatkan bahwa penulis sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah diargumentasikan, maka sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan hanya pada satu autoritas.
4.      Jelaskan perbedaan silogisme katagorial, silogisme hipotesis dan silogisme alternative !
Silogisme adalah merupakan suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Dan silofisme itu di atur dalam dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Kemudian silogisme mempunyai beberapa macam jenisnya, yaitu diantaranya sebagai berikut. Dari berbagai jenis silogisme diatas, memiliki arti yang berbeda, yang pertama yaitu:
A.    Silogisme katagorial

Silogisme ini merupakan silogisme dimana semua proporsinya merupakan katagorial. Kemudian proporsisi yang mengandung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor (premis yang termnya menjadi subjek).

B.     Silogisme hipotetik

Yang dimaksud dengan silogisme hipotetik itu adalah suatu argumen/pendapat yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.

C.     Silogisme alternative

Silogisme alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif itu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya.

5.      Sebutkan jenis-jenis cara berpikir induktif !
Berpikir Induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum. Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com)
Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.
Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian pada tahap pengujian hipotesis proses induksi mulai memegang peranan di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah suatu hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sehingga kemudian hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak.
Maka dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktif dan penalaran induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.


SUMBER: