TUGAS 2
Buat sebuah artikel dengan metode cara berfikir induktif jenis generalisasi, minimal 2 lembar dengan tema JAKARTA :
Buat sebuah artikel dengan metode cara berfikir induktif jenis generalisasi, minimal 2 lembar dengan tema JAKARTA :
JAKARTA,KOMPAS.COM - Ketika
terjadi heboh penolakan warga Pondok Indah terhadap rencana pembangunan koridor
bus transjakarta yang melintas di wilayah mereka, sebagian orang melihat itu
hanya cerminan arogannya warga kelas atas Pondok Indah yang tak mau
lingkungannya yang sudah tertata rapi diintervensi “untuk kepentingan umum yang
lebih besar”.
Tetapi, ada persoalan
lebih besar dari sekadar persoalan arogansi di sini. Jakarta mengatasi satu
masalah dengan mengundang malapetaka baru. Pondok Indah bukan satu-satunya.
Kaukus Lingkungan Hidup mencatat, ada 52 titik wilayah resapan atau tangkapan
air yang dialihfungsikan selama kurun 2006-2007, tanpa pemerintah mempersiapkan
penggantinya.
Secara sistematis dan
terstruktur, pemerintah menjadi aktor utama dalam penghancuran ekologi dan
ekosistem Jakarta. Jakarta tengah menggali kuburnya sendiri, dan banjir yang
semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya adalah salah satu akibatnya.
Alih fungsi lahan
secara progresif terus berlangsung, bahkan setelah terakhir banjir
menenggelamkan 80 persen wilayah Ibu Kota pada Februari tahun ini. Padahal,
tanpa ini pun Jakarta dengan posisi geografis dan struktur tanahnya sudah rawan
banjir.
Dalam kampanye sebelum
menjadi Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menjanjikan untuk mengatasi banjir
Jakarta, kendati ia mengakui banjir di Ibu Kota tidak akan dapat diselesaikan
secara menyeluruh dalam lima tahun ke depan.
Orang banyak berharap
ia akan membuat terobosan karena latar belakang ilmu perencanaan kota yang
dimilikinya. Namun, kasus Pondok Indah dan beberapa kasus lain, dinilai pakar
kehutanan dari Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo dan Direktur Eksekutif
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Slamet Daroyni memunculkan kesan kuat, Fauzi
hanya melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Proyek jalur bus
transjakarta yang melintasi Pondok Indah, menunjukkan dalam proyek-proyek
Pemerintah Provinsi DKI sendiri pun, dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) hanya jadi pelengkap.
“Jika proyek pemerintah
saja seperti itu, bagaimana proyek- proyek lainnya? Dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan maupun Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal jelas bahwa dokumen amdal adalah
prasyarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan
pembangunan. Ini amdalnya belum ada, kegiatan pembangunan infrastruktur sudah
terjadi,” ujar Daroyni.
Hariadi dan Daroyni
juga mencatat inkonsistensi dari program- program pengendalian banjir yang
dibuat oleh pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat. Sejak banjir
besar tahun 2002, tidak ada langkah strategis yang implementatif di lapangan.
Contohnya, konsep
Megapolitan serta berbagai aturan atau keputusan menyangkut penataan wilayah
Bogor, Puncak, dan Cianjur dalam upaya mengatasi banjir dari wilayah hulu, baik
dalam bentuk keputusan presiden (keppres), peraturan presiden (perpres), rancangan
perpres atau aturan lain. “Tidak ada yang jalan sampai hari ini,” ujar Hariadi
dan Daroyni.
Berbagai gagasan untuk
mengurangi sumber banjir di Jakarta juga hanya berakhir sampai gagasan.
“Contohnya Ciliwung Bersih, sampai sekarang Ciliwung masih tumpukan sampah,”
ujarnya. Demikian pula janji normalisasi 13 sungai serta waduk dan situ.
Menurut mereka, mandulnya semua prakarsa mengatasi banjir Jakarta adalah bentuk
nyata kegagalan birokrasi pemerintah.
“Pola-pola penanganan
banjir yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
Gubernur Sutiyoso. Jadi tidak ada sesuatu yang baru yang dilakukan oleh Fauzi.
Sampai sekarang tidak ada evaluasi terhadap penanganan banjir sebelumnya dan
contingency planning menghadapi ancaman banjir yang akan datang. Kalau cara
penanganannya tak jauh berbeda seperti tahun kemarin, bencana banjir akan tetap
menjadi ancaman paling serius di Kota Jakarta,” ujar Daroyni.
Kebijakan yang ditempuh
pemprov, baik dari sisi penganggaran, kebijakan tata kota dan perilaku birokrasi,
menurut Daroyni dan Hariadi, menunjukkan pemerintah tidak pernah belajar dari
bencana-bencana banjir sebelumnya, dan tidak menunjukkan adanya keseriusan
pemerintah untuk memprioritaskan penanganan banjir. DPRD bisa begitu gigih
ngotot soal tunjangan gaji, tetapi soal banjir nyaris tak kedengaran suaranya.
Kondisi yang dihadapi
Jakarta sebenarnya hanya ekses dari kebijakan Pemprov DKI yang lebih
mengedepankan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang kualitas dari pembangunan
itu sendiri. Pertumbuhan dicapai dengan menghancurkan lingkungan. Pembangunan
mega-megaproyek besar yang mengabaikan keseimbangan tutupan lahan hanya salah
satunya.
Sosio-ekonomis
Tetapi jelas Pemprov
DKI bukan satu-satunya yang pantas dipersalahkan di sini. Banjir dan hancurnya
lingkungan Jakarta bukan semata-mata karena kebijakan Pemprov DKI. Jakarta juga
korban kebijakan pembangunan nasional yang terlalu berpusat di Jawa, khususnya
Jakarta dan sekitarnya.
Selain minimnya wawasan
dan kepedulian birokrasi dan warganya pada lingkungan, bencana banjir dan
pertumbuhan Jakarta yang cenderung tak terkendali hingga melebihi daya dukung
ekologisnya tidak bisa dilepaskan dari fenomena urbanisasi yang diakibatkan
oleh orientasi kebijakan pembangunan nasional ini.
Karena kemiskinan,
puluhan ribu penduduk—sebagian besar pendatang—terpaksa mengokupasi
wilayah-wilayah resapan air dan menghuni bantaran-bantaran sungai. Ditambah
kebiasaan masyarakat Jakarta yang suka menyampah, ini menjadi sumber penting
penyebab banjir di Jakarta. Sekitar 40 persen dari 6.000 ton sampah yang
dibuang lebih dari 12 juta penduduk Jakarta setiap harinya dibuang ke sungai.
Anehnya, upaya
pengendalian banjir yang dilakukan pemerintah cenderung menekankan pada
perbaikan infrastruktur semata dan mengabaikan faktor sosio-ekonomis ini.
Banjir bukan datang secara dadakan, tetapi dampak dari salah urus ekosistem dan
infrastruktur tata air perkotaan, dan kebijakan lain yang cenderung
meminggirkan orang dan lingkungan selama berdekade-dekade.
Masyarakat hanya
ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Akibatnya, masyarakat juga cenderung
merasa tidak berkepentingan untuk ikut menjaga lingkungannya.
Dalam kasus banjir, itu
antara lain sangat kelihatan dari respons mereka yang cenderung berusaha
mencari selamat sendiri-sendiri, antara lain dengan berlomba-lomba meninggikan
rumah untuk mencegah banjir masuk ke tempat tinggal mereka. Mereka yang miskin
tak punya pilihan lain kecuali beradaptasi dan berkompromi dengan banjir yang
setiap kali mampir.
Sampai sekarang, tidak
jelas peran pemerintah pusat dalam ikut memecahkan problem Jakarta, termasuk
persoalan banjir ini. Salah satu contohnya, komitmen pendanaan Rp 9,5 triliun
untuk 10 tahun guna mengatasi banjir Jakarta, yang sampai sekarang tidak jelas
tindak lanjutnya.
Pascabanjir besar 2002,
pemerintah pusat melalui Bappenas juga menganggarkan dana Rp 15 triliun untuk
mengatasi banjir Jakarta dalam 10 tahun, atau Rp 1,5 triliun per tahun. Namun,
reaksi publik waktu itu sangat negatif terhadap rencana ini. Mereka menduga
dana ini akan kembali di korup oleh oknum pemerintah seperti terjadi pada
proyek-proyek lain sebelumnya. Akibatnya, nasib program tidak jelas.
Pada 2007, kembali
berembus dugaan manipulasi dana pembebasan lahan untuk Banjir Kanal Timur.
Lamban dan korupnya birokrasi membuat masyarakat pun semakin kehilangan
kepercayaan dan keyakinan pada kemampuan dan keseriusan pemerintah untuk
mengatasi banjir Jakarta.
SUMBER :
www.megapolitan.kompas.com